RADAR SEJARAH - Nama Pancasila, timbul begitu saja dalam lamunan
Soekarno saat berdiam di bawah sebuah pohon yang tertanam di halaman
rumahnya. Buah pikiran itu pun harus dia ungkapkan di hadapan peserta
sidang umum Dokuritsu Junbi Cosakai, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tepat
pukul 09.00 WIB, Soekarno pun beranjak dari tempat duduknya. Dari atas
podium yang terbuat dari marmer, dengan lantang Bung Karno memaparkan
buah pikirannya selama berjam-jam.
Bukan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika, bukan pula Manifesto Komunis. Bahkan Bung Karno juga menolak
pandangan dari bangsa lain, termasuk Jepang.
Dengan berapi-api,
Bung Karno menyebut lima pemikiran, yakni Kebangsaan, Internasionalisme
atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
"Marhaenisme Indonesia tidak dapat disamakan dengan
konsep bangsa lain. Dari tahun ke tahun aku pertimbangkan dalam
pikiranku," berdasarkan 'Soekarno: An Autobiography' karya Cindy Adams.
Di
muka sidang, Bung Karno menjelaskan kelimanya dengan berapi-api. Pidato
itu membuat semua orang terdiam, hanya terdengar suara kipas angin yang
berputar-putar.
"Air mata berlinangan di mata saudara-saudaraku anggota Badan Penyelidik itu."
Setelah
panjang lebar menjelaskan satu per satu isi dari buah pikirannya,
Soekarno lantas menjelaskan alasannya membuat lima dasar. Di hadapan
peserta sidang, Bung Karno mengaku suka terhadap sestau yang simbolik,
ia pun menjelaskannya sesuai dengan simbol.
"Rukun Islam ada lima. Jari kita ada lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Jumlah pahlawan kita Mahabharata, pendawa, juga lima. Sekarang asas-asas dasar mana kita akan mendirikan negara, lima pula bilangannya."
Lalu,
dia pun memperkenalkan kata Pancasila. "Jika kuperas yang lima ini
menjadi satu, mala dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu
perkataan gotongroyong. Gotongroyong adalah pembantingan tulang
bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama.
Amal semua buat semua. Prinsip Gotongroyong di antara yang
kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, anyata uang
Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan
kepada saudara-saudara."
Usai mendengar itu, para hadiri
langsung berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan. Riuh gemuruh
terdengar tepukan tersebut. Tapi tidak semua menyatakan kekagumannya.
"Dari
satu bagian dari ruang sidang itu tidak terdengar suara gemuruh. Itulah
tempat orang Jepang. Dengan sudut mataku melihat ke balkon yang
memanjang ke dinding samping. Di zaman Belanda dulu duduk para pengamat
yang penuh kekaguman, tetapi sekarang di sana pulalah orang Jepang itu
menunjukkan muka masamnya."
Soekarno yakin, kemarahan itu terjadi
bukan tanpa sebab, selama berpidato, Soekarno tidak mengeluarkan
satupun kata-kata yang memuji Dai Nippon. Tidak juga pada Tenno Heika.
Ya,
Bung Karno tidak ingin tunduk kepada negara asing. Bung Karno juga
menyatakan diri sebagai sosok yang anti-monarki. Dia pun yakin, orang
Jepang itu tak senang atas pidatonya soal Pancasila.
"Saatnya
telah tiba untuk meyakinkan dunia bahwa aku bukan boneka Jepang.
Sekalipun di bawah pengawasan polisi rahasia dengan senjata di
tangannya, aku tahu apa yang harus kulakukan."
No comments:
Post a Comment